Tuesday, 14 February 2017

Kepedihan dan Kenikmatan

Kepedihan, ibarat hati yang rapuh. Kepedihan, bagaikan logika yang tak dapat dirasionalisasi. Kepedihan laksana badai dalam kegelapan samudera. Kepedihan identik dengan jurang keputusasaan, kesengsaraan, dan penderitaan. Kepedihan dalam kehidupan, siapakah yang tak mengalaminya? Setiap orang tanpa terkecuali pernah mengalami kepedihan, sebagaimana dalam firman Allah SWT (Q.S. Al Balad ayat 4) yang artinya:
“Sungguh Kami telah ciptakan manusia berada dalam susah payah”
Kepedihan bukan berarti kita harus menyerah. Kepedihan bukan berarti kita harus pasrah tanpa berbuat apa-apa. Sebab, kepedihan bukan akhir dari kehidupan. Justru, karena kepedihanlah kita bisa belajar makna kehidupan. Karena kepedihanlah, kita bisa menghargai kehidupan. Karena hidup ini hanya sekali. Maka merugilah orang yang terpuruk dalam kepedihan. Bangkit dari kepedihan, itulah hal yang harus dilakukan untuk mengatasi kepedihan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Insyiraah ayat 5-8:
“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya
beserta kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai, maka
tegaklah. Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaklah engkau berharap”
Tak ada kesulitan tanpa kemudahan. Tak ada kepedihan tanpa kenikmatan. Yakinlah, ini adalah proses hidup yang engkau jalani karena bernilainya hidup yang engkau lalui ketika engkau menghargai proses tersebut. Seberapa pedih kehidupan yang engkau jalani, sesungguhnya disitulah letak kenikmatan dalam hidupmu. Proses yang engkau lalui untuk bangkit dari kepedihan, merupakan nikmat yang tak bisa terganti oleh apapun. Sebab, kepedihanlah yang mengantarkanmu pada kesuksesan dalam hidup. Kenikmatan sejati adalah kepedihan itu sendiri. Karena dengan demikian, engkau akan menjadi pribadi yang bijaksana dalam menyikapi permasalahan kehidupan.

Kekayaan dan Kemiskinan

Kekayaan dan kemiskinan, ibarat perbandingan antara cantik dan buruk rupa. Kekayaan akan tervisualisasikan secara cantik, sebaliknya kemiskinan akan tervisualisasikan secara buruk rupa. Jika ditinjau dari aspek finansial, maka kekayaan tentu saja dapat didefinisikan sebagai kehidupan yang bergelimang harta, tak kekurangan sedikit apapun. Dengan harta yang bergelimang, seseorang bebas untuk tidak bekerja tanpa harus mengkhawatirkan masa depannya. Dengan tak merasa kekurangan, kebutuhan tersier akan tergeser menempati posisi kebutuhan primer. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, cukup bersenang-senang menikmati indahnya surga dunia. Sementara kemiskinan merupakan kehidupan yang serba kekurangan dan penuh penderitaan. Kemiskinan diwarnai dengan kelaparan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer.
Jika ditinjau dari segi kesehatan akal dan hati, maka definisi dan makna dari kemiskinan dan kekayaan di atas jauh berbeda. Kekayaan sejati adalah kebijakan hati akan kenikmatan hidup yang diperoleh. Kebijakan hati akan ditandai dengan ikhlasnya seseorang dalam menerima ujian dari Sang Khaliq, entah ia hidup dalam tak kekurangan satu apapun atau ia hidup dengan penuh perjuangan untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara kenikmatan hidup adalah ketenangan batin atas suatu peristiwa atau persoalan kehidupan yang dilaluinya. Hal ini akan terefleksikan melalui rasa syukur. Orang yang terkategori dalam kekayan sejati akan diwarnai dengan senyum keikhlasan dan rendah hati. Orang yang memiliki kekayaan ini, akan lebih tenang dalam menghadapi persoalan kehidupan karena mereka memiliki akal dan hati yang sehat, jauh dari rasa iri dan mengeluh. Sehingga, persoalan kehidupan adalah hal yang mudah untuk mereka lalui dengan penuh kesabaran.

Sementara kemiskinan merupakan kekosongan hati yang tak bermakna. Kemiskinan merupakan hati yang kusam, ibarat mawar yang telah layu. Kemiskinan akan ditandai dengan rasa iri bahkan dengki atas ketidakcukupan rezeki. Kemiskinan diwarnai dengan ketidaksenangan atas kelebihan yang diperoleh orang lain bahkan seseorang yang menderita kemiskinan yang parah, akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kesenangan duniawi. Sering mengeluh dan tak ada rasa syukur serta tak pernah puas terhadap apa yang ia dapatkan ialah penyakit hati yang membuat penderitanya tak pernah lepas dari kemiskinan.

Sunday, 12 February 2017

Pengkhianatan dan Kesetiaan Dalam Bingkai Ormawa

Mahasiswa, dapat dikatakan bahwa ia adalah salah satu profesi yang dapat mendewasakan seorang remaja. Mahasiswa adalah sebuah profesi yang dapat membentuk paradigma berpikir kita. Mahasiswa adalah salah satu profesi yang dapat menyadarkan kita tentang betapa kerasnya kehidupan seorang terpelajar yang kemudian mengabaikan nuraninya ketimbang logika (pada umumnya). Ya, begitulah kehidupan seorang mahasiswa jika ia terjun dan bergelut untuk menjadi seorang aktivis, entah sebagai aktivis kampus atau aktivis di luar kampus.
Apapun organisasi yang digeluti dan beragamnya bendera organisasi yang menjadi jati diri anda, maka ia tak akan pernah lepas dari kata arogansi. Arogansi organisasi ibarat partai politik yang mengobarkan semangat juang untuk rakyat, namun pada kenyataannya meraka hanya memperjuangkan aspirasi kelompok atau partainya. Walau meraka telah disatukan dalam sebuah koalisi, bukanlah mustahil terdapat kubu-kubu yang menggoyahkan lambang suci demokrasi. Bahkan ironisnya, mereka lahir dari gelar yang disanjung dan status yang pernah mereka emban sebagai agent of change namun dengan mudahnya mereka khianati. Mereka yang dulunya berteriak di terik matahari, tak kenal lelah menuntut perubahan untuk Indonesia, namun ketika mereka menanggalkan jubah agent of change, jati diri mereka hilang bagaikan ditelan bumi.
Kembali ke arogansi organisasi. Organisasi apapun khususnya dalam lingkungan kampus, tak luput dari proses politik. Sebagai contoh, pada tingkat bawah birokrasi organisasi mahasiswa, terdapat organisasi yang disebut dengan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), lalu di atasnya ada Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas atau biasa dikenal dengan Senat Fakultas, dan terakhir Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas. Seorang mahasiswa yang memilih untuk menjadi aktivis kampus, perjalanan mereka diawali dari lingkup HMPS. Mereka dibekali doktrin-doktrin yang mensanubari dari para tetua mereka. Ini adalah organisasi pertama yang umumnya digeluti oleh mereka, maka secara tidak langsung telah tertanam suatu paradigma, pandangan, bahwa kepentingan HMPS adalah pertama dari kepentingan lainnya.
Tak bisa dihindari antara satu HMPS dengan HMPS lain terdapat keangkuhan atau arogansi prodi yang berlebihan sehingga timbul suatu anggapan bahwa prodi merekalah yang terbaik. Hal ini tentunya membuat mereka hidup dalam sekat-sekat walau mereka berada dalam satu jurusan. Konflik yang lahir dari arogansi prodi menciptakan insan-insan cerdas, baik dari segi intelektual yang tervisualisasikan melalui retorika, hingga pada kemampuan untuk bermuka dua. Bahkan, hanya untuk kepentingan prodi, tak jarang dalam tingkat HMJ maupun BEM Fakultas ditemukan pengkhianatan, khususnya pada saat pemilihan Ketua HMJ atau ketua BEM. Pengkhianatan yang lahir dari rasa kesetiaan pada jati diri organisasi asal mereka.
Pengkhianatan dan kesetiaan dalam politik merupakan perkara yang tak dapat dihindari dan dipilih begitu saja. Ketika mengatakan akan setia pada organisasi ini, maka mungkin akan ada pengkhiatan terhadap organisasi tersebut. Hal ini disebabkan oleh benturan kepentingan antara anggota organisasi. Dalam politik, termasuk di lingkungan ormawa, tak ada kesetiaan sejati. Bahkan dalam HMPS saja, terdapat konflik yang berujung pada pengkhianatan prodi sendiri. Namun, tak perlu dikhawatirkan, karena kesetiaan pada prodi akan terbentuk sendirinya. Sejauh anda berjalan di jalan yang salah, anda tak dapat mengubur jati diri anda sebagai bagian dari organisasi karena anda lahir dari rahim prodi anda sendiri. Dalam darah anda, terdapat darah prodi. Itulah hukum ormawa yang berlaku dan tak dapat disangkal oleh siapapun.
Itulah letak kesetiaan pada organisasi di tingkat prodi. Ia bagaikan kesetiaan pada fakultas di tingkat universitas. Walau terkadang mengatakan akan mendahulukan kepentingan organisasi, misalnya kepentingan BEM universitas, namun tak dapat disangkal bahwa percikan-percikan atau warna-warna fakultas selalu mendominasi sikap dan tindakan mereka di BEM universitas. Layaknya kesetiaan pada HMPS dan pengkhiatan pada HMJ atau BEM Fakultas. Itulah siklus ormawa yang tak bisa dihindari. Ia akan punah, apabila doktrin-doktrin dari para tetua mereka dibumihanguskan. Namun, inilah letak keindahan permaianan politik di tingkatan ormawa. Hari ini adalah teman, namun besok ia bisa menjadi musuh anda. Hari ini mereka adalah musuh anda, namun besok ia bisa menjadi teman anda. Inilah siklus kehidupan ormawa. Karena untuk ormawa, pengkhianatan adalah bentuk kesetiaan.